A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
a. Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Fransisca B. Batticaca).
b. Menurut Hudak (1996), stroke adalah deficit neurologis yang mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari cardiovascular disease (CVD).
c. Stroke merupakan salah satu manifestasi neurologi yang umum yang timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak (Depkes, 1995).
d. Stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral dan merupakan satu gangguan neurologik pokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologik pada pembuluh darah serebral misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vaskuler dasar, misalnya arterosklerosis arteritis trauma aneurisma dan kelainan perkembangan (Price, 1995).
2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia. Makin tinggi usia, makin banyak kemungkinannya untuk terserang stroke. Bila dipukul rata dapat dikatakan bahwa angka kejadian (insiden) stroke adalah 200 per 100.000 penduduk setiap tahun, bila dipilah menurut usia maka angka ini menjadi sebagai berikut : pada kelompok usia 35-44 tahun, insidennya ialah 0,2 per seribu. Pada kelompok usia 45-54 tahun, 0.7 per seribu. Kelompok usia 55-64 tahun, 1,8 per seribu. Usia 65-74 tahun 2,7 per seribu. Usia 75-84 tahun 10,4 per seribu dan usia 85 tahun keatas 13,9 per seribu. Ditaksir bahwa dari 1000 orang yang berusia 55-64 tahun, dalam setahun 1,8 orang atau kira-kira 2 orang mendapat stroke (Lumbantobing, 2003).
Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83% mengalami stroke hemorragik. Hampir 70 persen kasus stroke hemorrhagik terjadi pada penderita hipertensi. Kasus stroke meningkat di negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan makanan berbahaya (junk food) telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Dari data tersebut menunjukkan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke.
Stroke merupakan serangan otak yang timbulnya mendadak akibat tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak. Stroke merupakan satu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.
Dari hasil survei yang dilakukan pada program Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM), dari kelurahan Sobokerto diperoleh data terdapat kasus stroke sebanyak 7 kasus dari 66 gangguan lain. Melihat kenyataan tersebut, maka sudah menjadi keharusan bagi dunia kesehatan untuk lebih memperhatikan penyakit ini.
3. ETIOLOGI
Pecahnya pembuluh darah otak sebagian besar diakibatkan oleh rendahnya kualitas pembuluh darah otak.Sehingga dengan adanya tekanan darah yang tinggi pembuluh darah mudah pecah.
Faktor resiko terjadinya stroke ada 2 :
1. Faktor resiko yang dapat diobati / dicegah :
a. Perokok.
b. Penyakit jantung ( Fibrilasi Jantung )
c. Tekanan darah tinggi.
d. Peningkatan jumlah sel darah merah ( Policitemia).
e. Transient Ischemic Attack ( TIAs).
2. Faktor resiko yang tak dapat di rubah :
a. Usia di atas 65.
b. Peningkatan tekanan darah.
c. Keturunan ( Keluarga ada stroke).
d. Pernah terserang stroke.
e. Race ( Kulit hitam lebih tinggi )
f. Sex ( laki-laki lebih 30 % daripada wanita ), DM.
Penyebab utamanya dari stroke diurutkan dari yang paling penting adalah arterosklerosis (trombosis) embolisme, hipertensi yang menimbulkan pendarahan srebral dan ruptur aneurisme sekular. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak di dalam darah, DM atau penyakit vasculer perifer (Price, 1995).
4. TANDA DAN GEJALA
Gejala stroke yang timbul tergantung dari jenis stroke.
1. Gejala pada stroke hemoragik berupa:
a. Deficit neurologi mendadak, didahului gejala prodromal yang terdiri pada saat istirahat atau bangun pagi.
b. Kadang tidak terjadi penurunan kesadaran.
c. Terjadi terutama pada usia >50 tahun.
d. Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya.
2. Gejala klinis pada stroke akut berupa:
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang tmbul mendadak.
b. Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik).
c. Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).
d. Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara).
e. Disartria (bicara pelo atau cadel).
f. Ataksia (tungjai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran).
g. Vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).
5. PATOFISIOLOGI
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak akan menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang berlangsung lama dapat menyebabkan iskemik otak. Iskemik yang terjadi dalam waktu yang singkat kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan deficit sementara dan bukan deficit permanen. Sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan sel mati permanen dan mengakibatkan infark pada otak.
Setiap deficit focal permanen akan bergantung pada daerah otak mana yang terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan pembuluh darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering mengalami iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis interna. Defisit fokal permanen dapat tidak diketahui jika klien pertama kali mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi.
Jika aliran darah ketiap bagian otak terhambat karena thrombus atau emboli, maka mulai terjadi kekurangan suplai oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam 1 menit dapat menunjukan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran. Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area yang mengalami nekrosis disebut infark.
Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan gangguan pada metabolism sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak dapat menyimpan glikogen sehingga kebutuhan metabolism tergantung dari glukosa dan oksigen yang terdapat pada arteri-arteri yang menuju otak.
Perdarahan intracranial termasuk perdarahan kedalam ruang subarachnoid atau ke dalam jaringan otak sendiri. Hipertensi mengakibatkan timbulnya penebalan dan degenerative pembuluh darah yang dapat menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga perdarahan menyebar dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi pada pembuluh darah otak.
Perdarahan biasanya terhenti karena pembentukan thrombus oleh fibrin trombosit dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai di reabsorbsi. Rupture ulangan merupakan resiko serius yang terjadi sekitar 7-10 hari setelah perdarahan pertama.
Rupture ulangan menyebabkan terhentinya aliran darah kebagian tertentu, menimbulkan iskemik fokal, dan infark jaringan otak. Hal tersebut dapat menimbulkan gegar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSS), dan mengakibatkan gesekan otak (otak terbelah sepanjang serabut). Perdarahan mengisi fentrikel atau hematoma yang merusak jaringan otak.
Perubahan sirkulasi CSS, obstruksi vena, adanya edema dapat menyebabkan peningkanan tekana intracranial yang membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan intracranial yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebellum. Disamping itu, terjadi bradikardia, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan.
Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi hemodialisa, darah dapat mengiritasi pembuluh darah, meningen, dan otak. Darah dan vasoaktif yang dilepas mendorong spasme arteri yang berakibat menurunnya parfusi serebral. Spasme serebri atau vasospasme biasa terjadi pada hari ke-4 sampai ke-10m setelah terjadinya perdarahan dan menyebabkan konstriksi arteri otak. Vasospasme merupakan komplikasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal neurologis, iskemik otak, dan infark.
7. KLASIFIKASI
1. Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan).
Serangan sering terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a. Trombosis pada pembuluh darah otak (thrombosis of serebral vessels).
b. Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of serebral vesels).
2. Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan biasanya timbul setelah beraktifitas fisik atau karena psikologis (mental).
a. Perdarahan intra serebral (parenchymatous hemorrhage),gejalanya:
a) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
b) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktifitas, dan emosi atau marah.
c) Mual atau muntah pada permulaan serangan.
d) Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
e) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65 % terjadi kurang dari ½ jam sampai 2 jam; <2% terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari).
b. Perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage).
a) Nyeri kepala hebat dan mendadak.
b) Kesadaran sering terganggu dan sangat berfariasi.
c) Ada gejala dan tanda meningeal.
d) Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
a. Pemeriksaan klinis melalui anamnesis dan pengkajian fisik (neurologis):
1. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan, gejala yang timbul).
2. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM, disritmis, ginjal, pernah mengalami trauma kepala).
3. Riwayat penyakit keluarga (hipertensi, jantung, DM).
4. Aktifitas (sulit beraktifitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran).
5. Sirkulasi (hipertensi, jantung, disritmia, GGK).
6. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai factor resiko).
7. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, panglihatan berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama).
8. Kenyamanan (sakit kepala dengan intensitas yang beda, tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot).
9. Pernafasan (merokok sebagai factor resiko, tidak mampu menelan karena batuk).
10. Interaksi social (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi).
b. Pemeriksaan penunjang:
1. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri.
2. Scan Tomografi Komputer (Computer Tomografy Scan – CT Scan). Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trobosis, emboli serebral, dan tekanan intracranial (TIK). Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan subarachnoid dan perdarahan intracranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus thrombosis disertai proses inflamasi.
3. Magnetik Resonance I maging (MRI). MMenunjukan daerah infark, perdarahan, malformasi arteriovena (MAV).
4. Ultrasonografi Dopler ( USG dopler). Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis [aliran darah atau timbulnya plak]) da arteriosklerosis.
5. Elektroensepalogram (Electroensephalogram-EEG). Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
6. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trobosis serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pad perdarahan subarachnoid.
c. Pemeriksaan Laboratorium:
1. Darah rutin
2. Gula darah
3. Urin rutin
4. Cairan serebrospinal
5. Analisa gas darah (AGD)
6. Biokimia darah
7. Elektrolit
9. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Penatalaksanaan stroke hemoragik:
a. Terapi stroke hemoragik pada serangan akut
a) Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
b) Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat di bagian bedah saraf.
c) Penatalaksanaan umum di bagian saraf.
d) Penatalaksanaan kusus pada kasus:
(a) Subarachnoid hemorrhage dan intraventrikular hemorrhage.
(b) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid hemorrhage.
(c) Parenchymatous hemorrhage.
(d) Neurologis.
(e) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
(f) Control adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak.
(g) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah.
(h) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
(1) Aminocaproik acid 100-150ml% dalam cairan isotonic 2 kali selama 3-5 hari kemudian 1 kali selama 1-3 hari.
(2) Antagonis untuk pencegahan permanen: Gordok dosis pertama 300.000 IU kemudian 100.000 IU 4 kali per hari IV ; Contrical dosis pertama 30.000 ATU, kemudian 10.000 ATU x2 per hari selama 5-10 hari.
(3) Natrii Etamsylate (Dynone) 250 mg x 4 hari IV sampai 10 hari.
(4) Kalsium mengandung obat; Rutinium, Vicasolum, Ascorbicum.
(5) Propilaksis Vasospasme.
(6) Calsium-chanel Antagonist (Nimotop 50 ml [10 mg per hari IV diberikan 2 mg per jam selama 10-14 hari]).
(i) Awasi peningkatan tekanan darah sistolik klien 5-20mg, koreksi gangguan irama jantung, terapi penyakit jantung komorbid.
(j) Propilaksis hipostatik pemunia, emboli arteri pulmonal, luka tekan, cairan purulen pada luka kornea, kontraksi otot dini. Lakukan perawata respirasi, jantung, penatalaksanaan cairan dan elektrolit, control terhadap tekanan edema jaringan otak dan peningkatan TIK, perawatan klien secara umum, dan penatalaksanaan pencegahan komplikasi.
(k) Terapi infus, pemantauan (monitoring) AGD, tromboembolisme arteri pulmonal, keseimbangan asam basa, osmolaritas darah dan urine, pemeriksaan biokimia darah.
(l) Berikan dexason.
(m) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak.
(n) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
10. PROGNOSIS
Luaran stroke biasanya digambarkan dalam bentuk angka kematian dan status fungsional pasca serangan stroke. Penelitian Dr Alessandro, dkk (1992) menunjukan bahwa secara keseluruhan angka kematian pada 30 hari pertama adalah 31% . Pengukuran status fungsional pada hari ke 30 pasca serangan ntroke memperlihatkan bahwa 62% pasien stroke dapat mandiri dalam kehidupannya. Penelitian Marini, dkk (1999) pada 330 pasien stroke iskemik dengan rerata lama follow up 96 bulan menunjukan bahwa angka angka mortalitas adalah 13,5%.
Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan predikter klinis. Penelitian Wardlaw,dkk (1998) pada 993 pasien stroke memperlihatkan bahwa infark yang terlihat pada gambaran CT Scan kepala akan meningkatkan resiko kematian sebesar 4,5 kali (95% CI:2,7-7,5) dan ketergantungan hidup sebesar 2,5 kali (95% CI:1,9-3,3). Panelitian De Jong,dkk (2002) pada 333 pasien memperlihatkan bahwa pasien stroke dengan lebih dari 1 infark lakuner memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada pasien dengan 1 infark lakuner. Angka mortalitas yang lebih tinggi (33% VS 21%), angka rekurensi stroke yang lebih tinggi (21%VS11%) dan nilai status fungsional yang lebih rendah dihubungkan dengan infark lakuner yang lebih dari 1.
Pada kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relative lebih tinggi. Penelitian Larsen,dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukan bahwa angka mortalitas akut adalah 27%. Factor prognosis yang utama adalah tingkat kesadaran dan tingkat hematoma. Penelitian Fieschi,dkk (1988) pada 104 pasien stroke menunjukan angka kematian pada bulan pertama adalah 30%. Factor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran saat masuk rumah sakit, dan ukuran hematoma. Penelitian Kiyohara,dkk (2003) pada 1621 pasien stroke di jepang memperlihatkan hasil serupa, angka kematian pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% disbanding infark serebral sebesar 9%.
Factor demografik, penyakit penyerta, dan keparahan gejala stroke berkontribusi terhadap luaran stroke. Penelitian Kohort Kernan,dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia, komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke sebelumnya akan memberikan prognosis yang lebih buruk.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000)
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D. Ignativicius, 1995)
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b) Pola nutrisi dan metabolism
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
c) Pola eliminasi
Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan
Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
e) Pola tidur dan istirahat
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f) Pola hubungan dan peran
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h) Pola sensori dan kognitif
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
i) Pola reproduksi seksual
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
j) Pola penanggulangan stress
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
(1) Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran
(2) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara
(3) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
b) Pemeriksaan integument
(1) Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
(2) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
(3) Rambut : umumnya tidak ada kelainan
c) Pemeriksaan kepala dan leher
(1) Kepala : bentuk normocephalik
(2) Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
(3) Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
d) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
e) Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
f) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
g) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h) Pemeriksaan neurologi
(1) Pemeriksaan nervus cranialis
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
(2) Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
(3) Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
(4) Pemeriksaan refleks
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)
9) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
(1) CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja, 1993)
(2) MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)
(3) Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)
(4) Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke. (Jusuf Misbach, 1999)
b) Pemeriksaan laboratorium
(1) Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998)
(2) Pemeriksaan darah rutin
(3) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalajm serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999)
(4) Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Linardi Widjaja, 1993)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupaka suatu pernyataan dari masalah pasien yang nyata ataupun potensial dan membutuhkan tindakan keperawatan sehingga masalah pasien dapat ditanggulangi atau dikurangi.
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cidera otak.
2. Kurangnya pemenuhan perawatan diri (hygiene, toileting, berpindah, makan) yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
3. Gangguan eliminasi urin (inkontinensia urin) yang berhubungan dengan kelemahan otot spicter.
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak.
5. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
6. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penurunan refleks batuk dan menelan.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang paparan informasi.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Dx | Tujuan & Kriteria Hasil | Intervensi | Rasional |
1 | 1.Tujuan: a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya. 2. Kriteria Hasil: a. Tidak terjadi kontraktur sendi. b. Bertabahnya kekuatan otot. c. Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas | Mandiri: 1. Kaji kemampuan secarafungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. Klasifikasikan melalui skala 0-4 ( rujuk pada MK: Trauma Kranioserebral, DK: Mobilitas fisik, kerusakan , hal. 282 ). 2. Ubah posisi minimal setiap 2 jam ( telentang, miring ) dan sebagainya dan jika memungkinkan bias lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu. 3. Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sehari jika pasien dapat mentoleransinya. 4. Mulailah melakukan latiahan rentang rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan seperti latihan quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari dan kaki/telapak. 5. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board ) selama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral. 6. Gunakan penyangga lengan ketika pasien berada dalm posisi tegak, sesuai indikasi. 7. Evaluasi penggunaan dari/kebutuhan alat untuk pengaturan posisi dan/atau pembalut selama periode paralisis spastic. 8. Tempatkan bantal dibawah aksila untuk melakukan abduksi pada lengan. 9. Tinggikan tangan dan kepala. 10. Tempatkan “hand roll” keras pada telapak tangan dengan jari-jari dan ibu jari saling berhadapan. 11. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi. 12. Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan/bantalan trokanter. 13. Gunakan papan kaki secara bergantian, jika memungkinkan. 14. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk ( seperti meninggikan bagian kepala, tempat tidur, bantu untuk duduk disisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan untuk menyokong berat badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk ) dan keseimbangan dalam berdiri ( seperti letakkan sepatu yang datar; sokong bagian belakang bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut penolong diluar lutut pasien; bantu menggunakan alat pegangan parallel dan walker). 15. Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau tanda lain dari gangguan sirkulasi. 16. Inspeksi kulit terutama pada daerah-daerah yang menonjol. Lakukan masase secara hati-hati pada daerah kemerahan dan berikan alat bantu seperti bantalan lunak kulit sesuai kebutuhan. 17. Bangunkan dari kursi sesegera mungkin setelah tanda-tanda vital stabil kecuali pada hemoragik serebral. 18. Alasi kursi duduk dengan busa atau balon air dan bantu pasien untuk memindahkan berat badan dengan interval yang teratur. 19. Susun tujuan dengan pasien/orang terdekat untuk berpartisipasi dalam aktivitas/latihan dan mengubah posisi. 20. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremits yang tidak sakit untuk menyokong/menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan. Kolaborasi: 1. Berikan tempat tidur dengan matras bulat (seperti egg crate mattres ) ,tempat tidur air, alat plotasi atau tempat tidur khusus (seperti tempat tidur kinetic) sesuai indikasi. 2. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan resisitif, dan ambulasi pasien. 3. Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperti TENS sesuai indikasi. 4. Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuaia indikasi, seperti baklofen, dantrolen. | Mandiri: 1. Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi, sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis spastic dengan flaksid. 2.Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Aerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasi dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/dekubitus. 3. Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional; tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas terutama mengenai kemampuan pasien untuk bernafas. 4. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontratur. Menurunkan risiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah pendarahan. Catatan: stimulasi yang berlebihan dapat menjadi pencetus adanya pendarahan berulang. 5. Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi kegunaanya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak paralisis spastic dapat mengarah pada deviasi kepala kesalah satu sisi. 6. Selama paralisis flaksid penggunaan penyangga dapat menurunkan risiiko terjadinya subluksasio lengan dan “sindrom bahu-lengan.” 7. Kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot fleksor lebih kuat dibandingkan dengan otot ekstensor. 8. Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku. 9. Meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah terbentuknya edema. 10. Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari-jari, mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal (posisi anatomis). 11. Mempertahankan posisi fungsional. 12. Mencegah rotasi eksternal pada pinggul. 13. Penggunaan yang kontinu (setelah perubahan dari paralisis flaksid ke spastik) dapat menyebabkan tekanan yang berlebihan pada sendi peluru kaki, meningkatkan spastisitas, dan secara nyata meningkatkan fleksi plantar. 14. Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respons proprioseptik dan motorik. 15. Jaringan yang mengalami edema lebih mudah mengalami trauma dan penyembuhannya lambat. 16. Titik-titik tekanan pada daerah yang menonjol paling beresiko untuk terjadinya penurunan perfusi/iskemia. Stimulasi sirkulasi dan memberikan bantalan membantu mencegah kerusakan kulit dan berkembangnya dekubitus. 17. Membantu menstabilkan tekanan darah ( tonusvasomotor terjaga), meningkatkan keseimbangan ekstrimitas dalam posisi normal dan pengosongan kantung kemih/ginjal, menurunkan resiko terjadinya batu kandung kemih dan infeksi karena urin yang statis. 18. Mencegah atau menurunkan tekanan koksigeal/kerusakan kulit. 19. Meningkatkan harapan terhadap perkembangan/peningkatan dan memberikan perasaan kotrol/kemandirian. 20. Dapat berespons dengan baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu dan memerlukan dorongan serta latihan aktif untuk “menyatukan kembali” senagai bagian dari tubuhnya sendiri. Kolaborasi: 1.Meningkatkan distribusi merata berat badn yang menurunkan tekanan pada tulang-tulang tertentu dan membantu untuk mencegah kerusakan kulit/terbentuknya dekubitus. Tempat tidur khusus membantu dengan letak paien obesitas (kegemukan), meningkatkan sirkulasi dan menurunkan terjadinya vena statis untuk menurunkan resiko terhadap cedera pada jaringan dan komplikasi seperti pneumonia ortostatik. 2.Program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut dalam keseimbangan, koordinasi, dan kekuatan. 3.Dapat membantu memulihkan kekuatan otot dan meningkatkan control otot volunteer. 4.Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstermitas yang terganggu. |
2 | 1.Tujuan: a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi. 2. Kriteria Hasil: a. Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien. b. Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan. | Mandiri : 1. Uji kemampuan dan tingkat kekurangan( dengan menggunakan skala 0 - 4 ) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari. 2. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan. 3. Sadari perilaku dari aktivitas impulsif karena gangguan dalam mengambil keputusan. 4. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya. 5. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau keberhasilannya. 6. Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang ada; seperti : a. Letakkan makanan dan alat-alat lainnya pada sisi pasien yang tidak sakit. b. Sesuaikan tempat tidur sehingga sisi tubuh pasien yang tidak sakit menghadap ke ruangan dengan sisi yang sakit menghadap ke dinding. c. Posisikan prabot menjauhi dinding. 7.Gunakan alat bantu pribadi, seperti kombinasi pisau bercabang, sikat tangkai panjang, tangkai panjang untuk mengambil sesuatu dari lantai; kursi mandi pancuran; kloset duduk yang agak tinggi. 8. Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya untuk menghindari dan/atau kemampuan untuk menggunakan urinal, bedpan. Bawa pasien ke kamar mandi dengan teratur /interval waktu tertentu untuk berkemih jika memungkinkan. 9. Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikan pada kebiasaan pola normal tersebut. Kadar makanan yang berserat, anjurkan untuk minum banyak dan tingkatkan aktivitas. Kolaborasi: 1. Berikan obat supositoria dan pelunak feses. 2. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi/ahli terapi okupasi. | Mandiri : 1. Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual. 2. Pasien ini mungkin jadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan. 3. Dapat menunjukkan kebutuhan intervensi dan pengawasan tambahan untuk meningkatkan keamanan pasien. 4. Pasien akan memerlukan empati tetapi perlu untuk mengetahui pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten 5. Meningkatkan perasaan makna diri. Meningkatkan kemandirian, dan mendorong pasien untuk berusaha secara kontinou. 6. a. Pasien akan dapat melihat untuk memakan makanannya. b. Akan dapat melihat jika naik/turun dari tempat tidur, dapat mengobservasi orang yang datang ke ruangan tersebut. c. Memberi keamanan ketika pasien bergerak di ruangan untuk menurunkan resiko jatuh/terbentur prabot tersebut. 7. Pasien dapat menangani diri sendiri, meningkatkan kemandirian dan harga diri. 8. Mungkin mengalami gangguan saraf kandung kemih, tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase pemulihan akut, tetapi biasanya dapat mengontrol kembali fungsi ini sesuai perkembangan proses penyembuhan. 9. Mengkaji perkembangan program latihan ( mandiri ) dan membantu dalam pencegahan konstipasi dan sembelit ( pengaruh jangka panjang ). Kolaborasi: 1. Mungkin dibutuhkan pada awal untuk membantu menciptakan garing meransang fungsi defekasi teratur. 2.Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus. |
3 | 1. Tujuan : a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu mengontrol eliminasi urinya. 2. Kriteria hasil : a. Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia. b. Tidak ada distensi bladder | Mandiri : 1. Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering. 2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari. 3. Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal). 4. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan. 5.Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi). | Mandiri : 1. Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang berlebih. 2. Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis. 3. Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih. 4. Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga memerlukanuntuk lebih sering berkemih. 5. Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal. |
4 | 1.Tujuan: a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal. 2. Kriteria Hasil: a. Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi. b. Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat. | Mandiri: 1.Kaji tipe /derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri. 2. Bedakan antara afasia dengan disartria. 3. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik. 4. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana ( seperti “ buka mata,” “ tunjuk ke pintu “ ) ulangi dengan kata/ kalimat yang sederhana. 5.Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut. 6. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “ Sh” atau “ Pus “. 7.Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek. 8. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu. 9. Berikan metode komunikasi alternatif, seperti menulis di papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual ( gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi ). 10. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien. 11. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ Ya/ Tidak” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons pasien. 12. Bicaralah dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat. Berikan pasien jarak waktu untuk berespons. Bicaralah tanpa tekanan terhadap sebuah respons. 13. Anjurkan pengunjung/orang terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi dengan pasien, seperti membaca surat, diskusi tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga. 14. Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti pekerjaan, keluarga, dan hobby ( kesenangan ). 15. Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari “ pembicaraan yang merendahkan “ pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien . Kolaborasi: 1. Konsultasikan dengan/ rujuk kepada ahli terapi wicara. | Mandiri: 1. Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan memahami kata yang diucapkan ( afasia sensorik/ kerusakan pada area Wernick ); mengucapkan kata-kata dengan benar ( afasia ekspresif/kerusakan pada area bicara Broca ) atau mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut. 2. Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan mengintepretasikansimbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik dan/ atau motorik, seperti ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disantria dapat memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral. 3. Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata. Umpan balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti/merespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi /makna yang terkandung dalam ucapannya. 4. Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik ( afasia sensorik ). 5. Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik( afasia motorik, seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya). 6. Mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara ( seperti lidah, gerakan bibir, control nafas ) yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia motorik. 7. Menilai kemampuan menulis ( agrafia ) dan kekurangan dalam membaca yang benar ( aleksia ) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik. 8. Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera. Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel reguler. 9. Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/ defisit yang mendasarinya. 10. Bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung pada orang lain dan tidak dapat berkomunikasi secara berarti. 11. Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada suatu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata. 12. Pasien tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan suara dapat menimbulkan marah pasien/ menyebabkan kepedihan. Memfokuskan respons dapat mengakibatkan frustasi dan mungkin menyebabkan pasien ikut bicara “ otomatis, “ seperti memutarbalikkan kata, berbicara kasar/kotor. 13. Mengurangi isolasi social pasien dan meningkatkan penciptaan komunikasi yang efektif. 14. Meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk keterampilan praktis. 15. Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik. Kolaborasi: 1. Pengkajian secara individual kemampuan bicara dan sensori, motorik dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi kekurangan/ kebutuhan terapi. |
5 | 1.Tujuan a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi gangguan nutrisi. 2. Kriteria hasil a. Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan b. Hb dan albumin dalam batas normal | Mandiri : 1.Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk. 2.Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, seama dan sesudah makan. 3.Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah gagu jika dibutuhkan. 4. Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu. 5. Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang. 6. Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air. 7.Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan. 8. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan/kegiatan Kolaborasi : Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau makanan melalui selang. | Mandiri : 1. Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien. 2. Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi. 3. Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler. 4. Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan 5. Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar 6. Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi. 7. Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan merunkan resiko terjadinya tersedak. 8. Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan. Kolaborasi : Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut. |
6 | 1.Tujuan : a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam jalan nafas tetap efektif. 2. Kriteria hasil : a. Klien tidak sesak nafas. b. Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan. c. Tidak retraksi otot bantu pernafasan. d. Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit | Mandiri : 1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas. 2. Rubah posisi tiap 2 jam sekali. 3. Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari). 4. Observasi pola dan frekuensi nafas. 5. Auskultasi suara nafas. 6. Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien | Mandiri : 1. Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas. 2. Perubahan posisi dapat melepaskan sekret darim saluran pernafasan. 3.Air yang cukup dapat mengencerkan secret. 4.Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas. 5.Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas. 6.Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru |
7 | 1.Tujuan: a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan Selma 3x24 jam klien mampu memahami tentang kondisi atau prognosis dan aturan terapeutik 2. Kriteria Hasil: a. Klien memulai perubahaan gaya hidup b. Berpatisipasi dalam proses belajar c. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan aturan terapeutik. | Mandiri: 1. Evaluasi tipe/derajat dari gangguan persepsi sensori. 2. Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada individu. 3. Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana/kemungkinan melakukan kemabali aktivitas (termasuk hubungan seksual ). 4. Tinjau ulang/ pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang. 5. Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri. 6. Berikan instruksi dan jadwal tertulis mengenai aktivitas, pengobatan, dan faktor-faktor penting lainnya. 7. Anjurkan pasien untuk merujuk pada daftar/ komunikasi tertulis atau catatan yang ada daripada hanya bergantung pada apa yang diingat. 8. Sarankan pasien menurunkan/ membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berpikir. 9. Rekomendasikan pasien untuk meminta bantuan dalam proses pemecahan masalah dan memvalidasi kkeputusan, sesuai kebutuhan. 10. Identifikasi faktor-faktor resiko secara individual ( seperti hipertensi, kegemukan, merokok, aterosklerosis, menggunakan kontrasepsi oral ) dan perubahan pola hidup yang penting. 11. Identifikasi tanda/ gejala yang memerlukan kontrol secara medis, contoh : perubahan fungsi penglihatan, sensorik, motorik; gangguan respons mental atau perilaku, dan sakit kepala yang hebat. 12. Rujuk pada perencanaan pemulihan/pengawasan perawatan di rumah dengan mengunjungi perawat. 13. Identifikasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, seperti perkumpulan stroke, atau program pendukung lainnya. 14. Rujuk/ tegaskan perlunya evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi, seperti ahli fisioterapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara. | Mandiri: 1. Defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isi/ kompleksitas instruksi. 2. Membantu dalam membangun harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan saat ini. 3. Meningkatkan pemahaman,memberikan harapan pada masa datang dan menimbulkan harapan dari keterbatasan hidup secara “normal” 4. Aktivitas yang dianjurkan, pembatasan, dan kebutuhan obat/terapi dibuat pada dasar pendekatan interdisiplin terkoordinasi. Mengikuti cara tersebut merupakan suatu hal yang penting pada kemajuan pemulihan/pencegahan komplikasi. 5. Berbagai tingkat bantuan mungkin diperlukan/perlu direncanakan berdasarkan pada kebutuhan secara individual. 6. Memberikan penguatan visual dan sumber rujukan setelah sembuh. 7. Memberikan bantuan untuk menyokong ingatan dan meningkatkan perbaikan dalam keterampilan daya pikir. 8. Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berpikir. 9. Beberapa pasien ( terutama dengan masalah CSV kanan ) mungkin mengalami gangguan dalam cara pengambilan keputusan yang memanjang dan berperilaku impulsive, kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan keputusan yang dibuatnya. 10. Meningkatkan kesehatan secara umum dan mungkin menurunkan resiko kambuh. 11. Evaluasi dan intervensi dengan cepat menurunkan resiko terjadinya komplikasi/kehilangan fungsi yang berlanjut. 12. Lingkungan rumah mungkin memerlukan evaluasi dan modifikasi untuk memenuhi kebutuhan individu. 13. Meningkatkan kemampuan koping dan meningkatkan penanganan di rumah dan penyesuaian terhadap kerusakan. 14. Kerja yang baik pada akhirnya diharapkan/meminimalkan adanya gejala sisa atau penurunan neurologis. |
3. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi
terima kasih infonya. sangat bagus dan bermanfaat OBAT STROKE,
BalasHapus